Kamis, 12 Agustus 2021

Orang India di Indonesia belakangan ini

Masyarakat Indonesia mesti waspada. 
Sejak beberapa tahun terakhir, warga negara India mulai berdatangan ke Indonesia secara diam-diam
Mereka menyadari tingkat pendidikan bangsa ini yang kebanyakan masih relatif rendah dapat mereka salahgunakan demi kepentingan kocek & kaum mereka sendiri. 
Selain itu, mereka juga tahu soal mental inlander nya kebanyakan orang Indonesia yang memuja, menyembah & takut pada orang-orang tajir & orang asing (termasuk India) yang dikira/ dianggap lebih superior; mentang-mentang negara India saat ini lebih maju teknologinya, sudah meluncurkan satelit, bisa membuat nuklir bahkan sanggup memaksa bangsa Barat (baca: bule) memakai jasa mereka (misalnya : dokter-dokter di Amerika Serikat). 

Orang-orang India ini terutama bergerilya menyusup lewat 2 jalur jabatan pekerjaan : mengincar & merebut jabatan-jabatan tinggi di perusahaan di Indonesia dengan iming-iming kepintaran dalam bekerja sementara mau banting harga dibayar gaji lebih murah. 
Jalur lainnya : niaga/ dagang/ usaha. 
Perhatikan cara mereka berdagang : pasang harga lebih murah baik untuk barang dagangannya sendiri maupun ongkos kirim dan lain-lain. Jangkauannya pun lebih jauh dari pedagang Indonesia. Misalnya : ada tukang jamu di Gading Serpong, jualan sampai ke pembeli di Bekasi. Lalu ada penjahit di Pasar Baru yang jualannya sampai Tangerang Selatan bahkan pulau lain. 
Tentu tidak masalah andai sesuai ketentuan dan etika dagang. 
Masalahnya, mereka ditengarai (silakan periksa/ buktikan sendiri) membayar pegawai, jasa kurir, dll dengan sifat "raja tega". Mungkin terbiasa begitu di negaranya sendiri, namun pantaskah mereka bawa adatnya ke negara lain, yaitu negeri kita ini, Indonesia? 
Ingat, orang Indonesia punya prinsip yang seharusnya/ sepatutnya juga dipatuhi orang-orang India ini : "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." 
"Lain padang, lain belalang."

Tentu tidak semuanya dari mereka itu jahat, ada juga warga India yang masuk Indonesia dengan niat baik, hanya sekadar ingin bertahan hidup dengan lebih layak. Karena di negaranya sendiri, sesama mereka joroknya bukan main & lalu lintasnya lebih parah dari Indonesia. 

Kita hanya mewaspadai yang berniat jahat hendak menjajah Indonesia (lagi). 

Minggu, 25 Juli 2021

Apa gunanya sekolah.

Belakangan ini banyak yang mempertanyakan apa gunanya pelajaran di sekolah dalam dunia (kerja) nyata. 
Saya tidak sepenuhnya menentang pandangan tersebut. 
Namun sadarilah : 

1. Apa yang diajarkan di sekolah memang bersumber dari kehidupan/ dunia nyata sehari-hari. Perhatikan saja isi buku-buku pelajaran. Tentu saja, secara alami, isi pelajaran di sekolah akan terus tertinggal dari dunia nyata. Karena kurikulum sekolah "menunggu" pembaruan (update) informasi dari dunia nyata. 

2. Manfaat sebenarnya dari (pelajaran di) sekolah adalah MELATIH CARA BERPIKIR siswa-siswi : menghafal, berhitung, dan lain-lain, untuk menghadapi persoalan kelak di kehidupan nyata sehari-hari. Bahwa kehidupan seringkali tidak sesederhana yang kita kira. Karena itulah pelajaran di sekolah melatih ketangkasan (kecepatan, daya tangkap, problem solving, dsbnya) berpikir kita, para murid. 

Tidak mungkin sekolah yang hanya 12 tahun memberi otak kita seluruh pengetahuan yang kita butuhkan untuk sepanjang hidup puluhan tahun berikutnya. Sekolah paling-paling hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dasarnya. Sisanya dan selebihnya, sebagaimana pesan atau amanat guru dan kepala sekolah saat kita lulus, tetap perlu kita pelajari sendiri (belajar secara mandiri). Belajar dari kesalahan, pengalaman sendiri atau dari orang lain (mentor) seperti senior, atasan di tempat kerja, dll. Bahwa belajar itu memang sifatnya terus-menerus dan seumur hidup. 

Namun memang saya juga mendorong agar sekolah jangan hanya "mengisi otak/ pikiran" murid saja dengan teori (belajar yang hanya duduk di kelas, melihat & mendengar penjelasan guru), melainkan dilanjutkan/ dicampur juga dengan praktek : belajar secara motorik/ fisik. Contoh (selain pelajaran olahraga) : tali-temali, bertukang, elektronika, memasak/ kuliner, bercocok tanam. Dosen saya pernah menjelaskan tingkatan belajar : kognitif - afektif - psikomotorik. 

Selasa, 13 Juli 2021

gravitasi kehidupan


Salah satu pernyataan yang saya ingat dari film Interstellar adalah bahwa gravitasi (gaya tarik) ternyata merupakan gaya fisika yang berlaku umum di seluruh alam semesta kita ini, jadi bukan hanya di planet Bumi dan sekitarnya (tata surya, galaksi Bimasakti). 

Ini membawa saya kepada sebuah pemikiran filosofis mengenai kehidupan. 
Selama ini barangkali sebagian (atau bahkan kebanyakan) dari kita beranggapan bahwa kehidupan bagaikan berjalan di sebuah permukaan atau jalan yang datar. Jadi hidup kita hanya akan "maju" jika bergerak/ melangkah ke "depan". Sebaliknya, jika kita diam saja, maka kita hanya akan diam di tempat. 

Namun pernyataan mengenai gravitasi dalam film Interstellar tersebut membawa saya kepada pemikiran yang berbeda. 

Nampaknya kehidupan manusia lebih tepat jika diumpamakan orang yang tengah berada/ berdiri di sebuah permukaan atau jalan yang miring/ landai : 
selama kita masih mau melangkah/ bergerak ke depan, sekalipun perlahan, kita akan mengalami kemajuan; setidaknya, tidak diam di tempat. 
Namun jika kita tidak bergerak melangkah (diam saja), kita tidak akan diam di tempat. "Gravitasi" kehidupan, meski perlahan nyaris tak terasa, pelan-pelan akan "menyeret" (mutu) hidup kita semakin ke bawah. 
Karena itulah, kawan, bergeraklah melangkah ke depan meski lebih lamban dari orang lain di sekitarmu karena tetap lebih baik/ akan ada hasilnya daripada diam saja.

Minggu, 11 Juli 2021

nafkah yang layak

Penghasilan yang layak saat ini, sejak 10 tahun lalu sebetulnya, adalah $ 1,000 atau Rp 10 juta per bulan. 

Atau Rp 100 juta per tahun. 

Atau, jika langsung diberikan di awal untuk seumur hidup agar tak merepotkan : Rp 1 miliar. 

Jangan kuatir, ini tak akan merusak perekonomian. Karena para penerima penghasilan tersebut akan "membelanjakan" uangnya dalam bentuk : konsumsi dan investasi. 

Sabtu, 03 Juli 2021

Menggerogoti perusahaan sendiri

Sekitar 10 tahun terakhir, nampaknya ada "tren" perilaku baru di kalangan petinggi (pengelola/ manajer, direktur, dll) sebagian perusahaan : 
Mereka nampaknya tidak peduli apakah perusahaannya laba atau going concern (hidup berkelanjutan) sebagaimana cara generasi sebelumnya menjalankan perusahaan. 
Mereka justru seolah sengaja menggerogoti perusahaannya sendiri dengan membukukan biaya-biaya tinggi : biaya perjalanan dinas, gaji bulanan, bonus, entertain, dan semacamnya. 
Jadi seolah, "Biar saja perusahaan bankrut/ ambruk, nanti kita tinggal dirikan lagi perusahaan baru. Yang penting kita "amankan" dompet/ rekening pribadi kita." 
Tentu saja ada kemungkinan ini jadi menyusahkan pegawai-pegawai di tingkat bawah (staf, dll) saat perusahaannya benar-benar ambruk : mereka jadi harus mencari pekerjaan baru. Tapi ada kemungkinan para pegawai ini diajak oleh si petinggi "ikut" ke perusahaan barunya kelak. 
Mungkin zaman/ dunia usaha memang sudah berubah : persaingan terlalu berat untuk membuat perusahaan bertahan lama sebagaimana perusahaan-perusahaan di generasi sebelumnya. 

2020

Pandemi ini seolah menandai berakhirnya sebuah era, sebuah generasi. Sejak bbrp thn terakhir, begitu bnyk orang2 yg kita kenal, telah "berpulang" mendahului kita. 

Nampaknya ada era baru yang akan muncul/ "emerge".